Dear Fred,
Hari ini aku baru saja membuka kotak suratku, membersihkannya dari surat-surat yang tidak perlu kusimpan lagi, membuang sampah-sampah yang mungkin terselip di sana. Lalu aku menemukan surat-suratmu. Surat penuh kenangan, penuh cerita. Surat yang kamu kirimkan kepadaku ketika SMA.
Aku membuka surat pertama yang kamu kirimkan. Isinya lirik lagu. Aku jadi ingat pertama kali menerima surat itu, aku sedikit geli. Untuk apa kamu mengirimkan lagu-lagu itu. Tapi lama-lama aku jadi terbiasa, bahkan senang ketika kamu mengirimkan lirik lagu yang lain.
Lalu dialog-dialog mulai tercipta di antara kita. Tentang musik kesukaanku, tentang dirimu yang kala itu akan masuk universitas. Aku ingat betapa aku menunggu surat-surat berikutnya datang darimu.
Fred, membaca kembali kalimat-kalimat yang kukirim padamu, aku jadi malu. Kata-kata yang kekanak-kanakan, egois, tapi kamu menerimanya. Kamu membalasnya! Dulu ketika menulisnya, aku berusaha menulis sebagus mungkin. Itu karena kamu memang pandai berkata-kata, jadi aku pun tidak mau kalah. Sekarang, begitu membacanya, aku merasa menjadi orang yang paling payah. Aku terbahak!
Tapi membacanya membuatku merasa itu bukanlah diriku yang sebenarnya. Terlalu mengada-ada. Bukan, rasanya itu bukan diriku. Itu aku yang lain. Tapi itu aku. Aku yang menulis.
Surat demi surat mengantarkanku pada satu episode dalam hidup kita yang kadang tak bisa kupercaya. Saat itu kita tidak pernah terbuka tentang perasaan kita masing-masing bukan? Mungkin itu mengganggumu, kebungkamanku. Dan ya, aku menyukaimu saat itu. Aku menyukai hal-hal romantis yang kamu ciptakan untukku. Saat itu aku bahagia, ada seorang anak laki-laki yang aku pikirkan setiap hari, di masa remajaku. Tapi aku tetap bungkam, sebab aku menyadari bahwa perasaanku dan semua yang kulakukan kepadamu tidak halal. Aku takut Tuhan membencinya.
Episode terburuk dalam hidup. Mungkin kita tak dapat melupakannya, tetapi kita sedang bangkit untuk mencapai hidup yang lebih baik, kan. Cuplikan cerita kehidupan itu bukankah telah banyak mendewasakan kita hingga saat ini.
Fred, andai kesempatan itu ada, aku ingin menemuimu. Aku ingin kita berbincang dengan santai. Sebagai kawan lama, sebagai sahabat. Aku ingin kita punya momen yang penuh canda, tetap berhubungan sebagai kawan jauh. Mungkin besok, lusa, atau entahlah, ketika jarak tak lagi menjadi penghalang.
Sincerely,
Me
0 Comments:
Post a Comment