Meski tulisan ini dilombakan, aku berniat menceritakan pengalaman pribadiku. Ooh, tentu saja tentang menulis.
Menulis, aku memiliki masa lalu yang indah tentangnya. Bermula dari seorang guru baru SMP-ku (sekarang sudah tidak baru, ehm maksudku…) untuk mata pelajaran bahasa Indonesia, Pak Hariyono. Beliau termasuk penulis yang produktif karena cerpen dan artikelnya banyak dimuat di tabloid nasional. Suatu hari di semester 2 kelas VII beliau memberi tahu aku dan teman-teman bahwa YKAI—Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia—bekerja sama dengan UNICEF mengadakan lomba menulis dengan tema “Hak-hakku sebagai Anak Indonesia”. Tahun itu aku berpartisipasi dan aku mendapatkan sertifikatku dengan bunyi “… atas partisipasinya dalam lomba...”. Biar begitu aku senang sekali. Bagi gadis tanggung yang berusia 13 tahun seperti aku, rasanya seperti bersalaman dengan Presiden. Aku bangga namaku dikenal berprestasi (berpartisipasi) di tingkat nasional, yah, paling banter namaku dikenal oleh orang yang menulis sertifikat itu, ya to?
Di tahun kedua masa SMP-ku, aku bergabung dalam redaksi majalah sekolah “Eksis”, Ekspresi Siswa. Lagi, pembimbingku adalah Pak Hariyono dan Pak Datun, guru TIK yang sangat membantu kami dalam tata letak majalah dan ternyata tak kalah hebat dalam menulis artikel.
Tahun itu serasa tahun kejayaanku. Seperti Gadjah Mada untuk Majapahit, aku mencurahkan tenaga dan pikiran untuk kegiatan after school ini. Aku menulis tajuk utama, pengantar redaksi, atau memilih naskah yang layak muat. Di luar kegiatan untuk majalah, Alhamdulillah di tahun itu esaiku dengan judul “Dilema Sebuah Layar Kaca” terpilih dalam 20 esai terbaik lomba menulis esai yang diselenggarakan lagi oleh UNICEF-YKAI dengan tema “Televisi yang Aman untuk Anak Indonesia”, dan dibukukan dalam Kumpulan Esai “Kubunuh Kau, Papa!”. Hadiahnya berupa beberapa buah novel dan tabungan. Kau bisa bayangkan, betapa bahagianya aku membeli seragam baru, sepatu baru dari jerih payahku sendiri.
Begitulah, kemudian motivasi itu muncul begitu saja. Hadiah! Terdengar materialistis, tetapi bagiku manusiawi. Aku memberi semangat pada diriku sendiri, “Kelak, kau akan jadi penulis sukses, Nabila!”
Di tahun seniorku, aku mulai kendor menulis. Aku belum beruntung ketika mengikuti lomba menulis esai UNICEF-YKAI yang ketiga kalinya. Padahal esaiku dengan tema “Laki-laki dan Perempuan, Sederajatkah?” kulengkapi dengan sedikit referensi buku lain. Meski begitu, terkadang aku mengirimkan surat pembaca untuk harian Suara Merdeka dan cerpen-cerpen (yang tak kutahu kemana rimbanya) ke beberapa majalah remaja. Aku sampai bosan menunggu telepon berdering yang kemudian akan memberitahuku, “Cerpenmu layak muat, Nabila! Bisakah kau menulis lagi untuk majalah kami?” tetapi hingga saat ini aku belum menerima telepon itu, hiks..hiks..
Motivasi ‘hadiah’ ternyata kurang ampuh. Hingga seorang teman memamerkan beberapa puisinya padaku. Kau tahu, aku benci puisi! Yah, itu karena aku.. ehm, tidak bisa menulis kata-kata puitis seperti yang kubaca di koran tiap hari Minggu.
Begitu membaca puisinya, subhaanallah! Baru kali itu aku membaca puisi yang kata-katanya tidak bombastis, mudah dipahami, namun meluluhkan hati. Membaca puisi itu, aku seperti menyelami perasaannya, kepribadiannya, dan aku bisa tahu dia tidak seburuk yang aku keluhkan selama berteman dengannya.
Aku pun pada suatu kesimpulan, betapa luar biasa apabila seorang penulis—puisi atau artikel atau apapun—bisa mengubah pendapat seseorang lewat tulisannya. Dan aku berpendapat, kalau temanku bisa, aku pun (tentunya) bisa.
Penulis hebat? Adakah syarat?
Penemuan motivasi yang baru itu sudah hampir dua tahun berlalu, tetapi agaknya baru kutemukan sebuah titik terang setelah mencoba kembali aktif menulis, kemudian diberi hujan pujian dan kritik oleh guru Bahasa Indonesia, jatuh bangun akibat dua kali naskah skenario drama dan film independen ditolak teman sekelas, dan setelah itu menyadari bahwa tulisan-tulisan tersebut memang kurang menarik. Om Jonru hadir bagaikan setandan pisang untuk Sun Go Kong. Mantapp!
Sebenarnya Om Jonru sudah lama kukenal lewat dunia maya. Aku pertama kali mendengar nama Jonru karena tak sengaja membuka situs Sekolah Menulis Online (SMO). Ketika itu aku hendak mencari info tentang lomba menulis, kira-kira tahun 2007-2008. Kemudian selama 9 minggu, aku dikirimi newsletter tentang menulis secara berkala oleh SMO asuhan beliau. Kau tahu, sebelumnya kupikir Om Jonru ini wanita, haha. Habis, saat itu aku tidak menemukan foto diri beliau.
Tetapi perkembangan dunia maya diikuti pula dengan perkembangan jejaring sosial. Kau tak perlu lagi kecele seperi diriku karena kau bisa berkomunikasi dengannya di Facebook penulis hebat. Kau juga bisa mem-follow dirinya di Twitter penulis hebat.
Oh, sampai di mana kita? Ya ampun, bukankah aku sedang bercerita mengenai setandan pisang untuk Sun Go Kong? Hihi, setandan pisang yang kumaksud adalah Buku "Cara Dahsyat Menjadi Penulis Hebat". Om Jonru kembali melahirkan sebuah buku, menyusul kesuksesan buku “Menerbitkan Buku Itu Gampang!”. Saat ini buku tersebut tersedia dalam format ebook. Buku ini belum bisa didapatkan di toko buku karena versi cetaknya belum ada.
Aku tak mau tertinggal satu langkah pun dengan penulis hebat lain yang ingin tambah hebat. Aku harus membacanya! Menurutku, kau pun sebaiknya segeralah dapatkan buku ini. Harga ebooknya hanya Rp 49.500, tapi setiap pembeli mendapat voucher diskon Rp 200.000 dari Sekolah Menulis Online. Setahuku, itu adalah DISKON SMO TERBESAR yang pernah diberikan.
Dengan membeli ebook ini, kau akan didaftarkan ke Kelas SMO Free Trial (jadi kau tak perlu repot-repot mendaftar), mendapat gratis modul eksklusif dari SMO bimbingan karir di bidang penulisan dan kesempatan itu berlaku seumur hidup. Kalau kau tidak buru-buru, aku tak bisa menjamin kau akan mendapatkan semua keuntungan itu karena kudengar penawaran ini akan ditutup sewaktu-waktu bila buku versi cetak sudah terbit. Kau bisa kunjungi penulis hebat untuk mendapatkan buku ini.
Setelah membaca buku ini, kau pasti akan sering bergumam, “Anda benar, Om Jonru!” atau minimal tersenyum. Sama seperti diriku saat membaca halaman 15. Pada halaman tersebut Om Jonru menuliskan sebuah kesimpulan dengan jelas dan sangat menarik untuk dibaca karena tulisannya diberi bingkai berwarna hijau. Tulisan itu berbunyi, “Bila hendak menjadi penulis sukses, Anda harus menjadi penulis hebat terlebih dahulu. Artinya: Untuk mewujudkan impian sebagai
penulis sukses, Anda harus membekali diri dengan berbagai macam soft skill.” Aku jadi ingat perkataanku pada diri sendiri saat SMP, “Kelak, kau akan jadi penulis sukses, Nabila!”. Ternyata menjadi penulis sukses membutuhkan perjuangan.
Kubaca lembar-lembar berikutnya, pada halaman 65 aku membaca perbandingan antara bayi dan orang dewasa. Lucunya bayi lebih berani mencoba hal-hal baru dibanding orang dewasa. Itu seperti cubitan yang keras untuk ketakutanku membuat puisi. Takut jelek. Takut dikritik.
Aku sudah memulai perjalananku sejak lama. Harusnya aku tak perlu mundur. Aku harus jadi penulis sukses lewat jalan menjadi penulis hebat. Semoga tak lama lagi akan kuwujudkan mimpiku, membangun sebuah perusahaan penerbitan buku—inilah yang kusebut sukses. Akan kuciptakan surga di tengah belantara Indonesia yang pelit lapangan pekerjaan. Bagi para penulis, perancang grafis, siapapun. Insya Allah.
Nabila Sumargono
semangaaat
baca juga di sini
P.s. naskah ini diikutkan dalam lomba menulis penulishebat
0 Comments:
Post a Comment